Buruh Ungkap 6 Alasan Iuran Potong Gaji Tapera Harus Ditolak!

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal 

LENSAPOST.NET – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak pemerintah untuk mencabut dan membatalkan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Lewat kebijakan ini buruh ataupun pekerja dengan gaji di atas upah minimum harus membayar wajib sebanyak 3% dari gajinya. Iuran ini akan menjadi tabungan perumahan pekerja yang bisa digunakan untuk manfaat kredit perumahan murah, kredit pembangunan rumah, dan kredit renovasi rumah.

Ada 6 alasan mengapa kebijakan ini harus ditolak semua buruh atau pekerja. Pertama, Said Iqbal menyebutkan tidak ada kepastian kepemilikan rumah bagi para buruh dengan membayar iuran Tapera.

“Dengan potongan iuran sebesar 3% dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Minggu (2/6/2024).

Kedua, Said Iqbal menyatakan iuran Tapera hanya memberikan tambahan beban buat buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun 30% dan upah minimum yang sangat rendah, potongan iuran Tapera sebesar 2,5% yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Potongan yang dikenakan kepada buruh saat ini katanya sudah hampir mendekati 12% dari upah yang diterima. Antara lain Pajak Penghasilan 5%, iuran Jaminan Kesehatan 1%, iuran Jaminan Pensiun 1%, hingga iuran Jaminan Hari Tua 2%.

“Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh,” kata Said Iqbal.

Ketiga, dengan iuran ini memperlihatkan pemerintah seperti lepas tanggung jawab akan hak perumahan bagi masyarakat luas. Dalam kebijakan Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut membayar iuran dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.

“Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan,” papar Said Iqbal.

Keempat, Said Iqbal menyebutkan Tapera adalah iuran yang memaksa bukan lagi sebuah tabungan. Tidak seperti pernyataan pemerintah yang menyebut Tapera adalah tabungan. Bila benar tabungan seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.

Tapera juga dinilai memaksakan konsep jaminan sosial padahal sifatnya tabungan. Menurut Said Iqbal harusnya tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan.

“Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan,” beber Said Iqbal.

Kelima, Saiq Iqbal juga memprediksi nantinya akan ada ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera bila buruh mau melakukannya. Untuk kalangan buruh yang dipekerjakan perusahaan, potensi PHK-nya terlalu tinggi. Sementara sampai saat ini keterangan resmi menjelaskan dana Tapera cuma bisa diambil saat pensiun.

“Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera,” kata Said Iqbal.

Terakhir, alasan dana Tapera harus ditolak adalah karena kebijakan ini rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.

Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial atau bantuan sosial. Jaminan sosial dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.

“Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak membayar iuran, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah,” pungkas Said Iqbal. [detik.com]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *