YAKATA Ingatkan Pemerintah dalam Penetapan Lahan untuk Mantan Kombatan GAM

Foto udara hutan Aceh yang masih lestari. [Dok. Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh]
Foto udara hutan Aceh yang masih lestari. [Dok. Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh]

LENSPOST.NET – Pemerintah Aceh dan Kementerian Agraria, Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berencana menyediakan lahan bagi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Langkah ini dinilai sebagai upaya positif untuk memenuhi salah satu komitmen penting MoU Helsinki dan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Langkah ini bertujuan membantu para mantan kombatan untuk beralih ke kehidupan sipil, meningkatkan kesejahteraan mereka beserta keluarga, serta mendukung proses perdamaian di Aceh.

Namun, Zamzami, Ketua Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA), menyarankan pemerintah untuk berhati-hati agar tidak mengulangi kegagalan program serupa yang pernah terjadi sebelumnya.

Menurutnya, beberapa program penyediaan lahan di Aceh seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Jaya, dan Aceh Tamiang tidak berhasil karena lahan-lahan tersebut banyak dialihtangankan ke pihak lain. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan, pelatihan, modal, dan kondisi lahan yang tidak layak untuk kehidupan para mantan kombatan.

Salah satu rencana pelepasan kawasan hutan di Aceh Timur yang meliputi Kecamatan Peunaron, Ranto Peureulak, Banda Alam, dan Pante Bidari dengan luas sekitar 22.000 hektar, menjadi perhatian Zamzami.

Ia mengungkapkan bahwa kawasan ini menjadi habitat bagi ratusan ekor gajah liar dan merupakan salah satu lokasi konflik satwa paling tinggi di Indonesia. Menurutnya, jika kawasan ini dijadikan lahan untuk mantan kombatan, konflik satwa liar akan semakin meningkat, sehingga tidak layak dijadikan pemukiman.

Zamzami juga mencontohkan pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sumedang Jaya di Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, yang mencakup 189 unit rumah di lahan seluas 500 hektar dari eks Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Gunung Raya Medang.

Proyek ini diresmikan pada tahun 2016, namun kini dalam kondisi memprihatinkan. Akses ke lokasi rusak parah dan tingginya konflik dengan gajah liar membuat masyarakat meninggalkan tempat tersebut.

“Kita memahami kebutuhan mantan kombatan, tetapi menempatkan mereka di lahan yang tidak layak tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Zamzami.

Ia menambahkan bahwa dampak ekologis dari perubahan fungsi hutan menjadi lahan pemukiman dapat memicu bencana seperti banjir, kebakaran hutan, serta meningkatnya konflik antara satwa liar dan manusia. Selain itu, lahan tersebut juga berfungsi sebagai sumber air bagi masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo Wilayah Sungai (WS) Jambo Aye dan DAS Peureulak.

Zamzami juga menyoroti pentingnya prosedur legalitas dan peruntukan lahan yang tepat sasaran, seperti untuk keluarga korban konflik atau anak yatim yang kehilangan orang tua saat berjuang atau setelah konflik berakhir.

Ia menyarankan Pemerintah Aceh untuk mencari lahan yang lebih layak dan tidak berisiko tinggi, seperti Hak Guna Usaha (HGU) yang izinnya telah berakhir atau HGU terlantar di Aceh Timur atau Aceh.

“Banyak lahan yang masih bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak hutan. Jika pun harus melepaskan kawasan hutan, seharusnya dipilih lokasi yang memiliki risiko rendah. Semua tergantung pada niat baik pemerintah,” tutup Zamzami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *