ACEH  

Qanun Abdya Tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan Dinilai Gagal

Pekerja memanen padi menggunakan mesin panen di area persawahan Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (8/2/2024).
ILUSTRASI

LENSAPOST.NET — Qanun Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) dinilai gagal.

Hal ini terlihat dari penurunan luas lahan pertanian yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Berdasarkan data Dinas Pertanian Abdya pada tahun 2017, yang dipublikasikan oleh Media Online “Antara Aceh” pada Sabtu (18 Juli 2020), luas areal sawah di Abdya mencapai 10.201 hektar yang tersebar di sembilan kecamatan.

Namun, seiring berjalannya waktu, keberadaan lahan pertanian di wilayah tersebut semakin terancam oleh pembangunan pemukiman. Setiap tahunnya, luas lahan pertanian di Bumoe Breuh Sigupai berkurang hingga 1.902 hektar.

Beberapa tahun lalu, luas lahan sawah di Abdya sempat bertahan di kisaran 8.299 hektar. Namun, untuk tahun ini, luas lahan yang menjadi kebanggaan Abdya itu hanya tersisa 7.150 hektar.

Untuk mendapatkan informasi terbaru terkait luas lahan persawahan di Abdya pada tahun 2025, Lensapost.net melakukan konfirmasi langsung dengan Kepala Dinas Pertanian, Hendri Yadi, pada Senin (5/5/2025). Hendri membenarkan bahwa berdasarkan data dari BPS dan BPN, saat ini lahan persawahan yang tersisa di Abdya hanya 7.150 hektar.

Namun demikian, ia mengaku pihaknya belum melakukan pendataan ulang setelah luas area tersebut ditetapkan. “Kita belum melakukan pendataan ulang ke setiap kecamatan terkait kepastian sisa lahan,” pungkasnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua II DPRK Abdya, Nurdianto ST, memberikan pandangannya mengenai implementasi Qanun Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Qanun tersebut merupakan aturan yang wajib diterapkan. Kehadirannya bukan hanya hasil inisiatif DPRK Abdya, tetapi juga telah melalui tahapan pembahasan bersama eksekutif dan legislatif, dengan merujuk pada kebijakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.

“Itulah yang mendasari qanun larangan peralihan fungsi lahan pangan,” jelas Nurdianto.

Namun, politisi dari Partai Demokrat ini mengakui bahwa implementasi qanun tersebut sulit dijalankan karena berbagai alasan. Ia lebih setuju agar pemerintah daerah mencari alternatif lain, salah satunya dengan menciptakan lahan sawah baru sebagai pengganti.

“Harusnya pemerintah mencari solusi, karena banyak lahan pertanian yang semakin terkikis. Ada inisiatif pemerintah daerah untuk mengubah lahan tidur menjadi sawah baru. Kita punya banyak lahan yang bisa dijadikan sawah baru sebagai pengganti lahan yang sudah dialihfungsikan,” pungkasnya.