BERBAGAI studi atau penelitian memperlihatkan, bahwa masyarakat Indonesia sangat malas membaca. Padahal, membaca merupakan cara mengakses informasi atau pengetahuan.
Berdasarkan survei yang dilakukan lembaga PISA (Program for International Student Assessment) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, kemampuan membaca siswa Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara. PISA adalah studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia.
Setiap 3 tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains.
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca. Hasil riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, juga memperlihatkana data yang miris: Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Data-data di atas menunjukkan persoalan literasi di Indonesia, termasuk Aceh tentunya, masih menjadi hal yang harus dibenahi. Sebab, hanya bangsa dengan minat baca yang tinggi yang bisa menuju masyarakat informasi yang merupakan ciri dari masyarakat modern. Sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni sangat diperlukan jelang Indonesia Emas pada tahun 2045.
Apa yang harus dilakukan untuk mendorong peningkatan minat baca?
Pemerintah Aceh memiliki satuan kerja perangkat Aceh (SKPA) dengan tugas dan fungsi berkaitan dengan minat baca, yakni Dinas Perpusatakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA). Instansi ini memiliki dua unit gedung. Yang pertama terletak di Jalan T Nyak Arief Jeulingke. Satu lagi di jalan yang sama kawasan Lamnyong, Banda Aceh.
Gedung DPKA di Lamnyong dilengkapi fasilitas perpustakaan. Di sana tersimpan berbagai kolekasi buku untuk menunjang kebutuhan referensi mahasiswa dan masyarakat umum.
Selain menyediakan bahan bacaan, DPKA juga mengembangkan aneka program untuk mendorong peningkatan minat baca masyarakat. Salah satu kegiatan yang paling diminati kaum milenial adalah pemilihan Raja dan Ratu Baca.
Ajang itu mempunya misi utama mendorong minat baca, khususnya di kalangan generasi muda dengan cara memberi apresiasi untuk mereka yang memiliki budaya baca. Selama beberapa tahun pelaksanaannya, kegiatan ini terbukti mampu mendongkrak minat baca di kalangan kawula muda.
Kepala DPKA Edi Yandra mengatakan, minat baca terkait dengan kebiasaan seseorang. Karena itu, upaya untuk menumbuhkan minat baca dapat dimulai dengan mengubah kebiasaan yang selama ini kurang bersinggungan dengan budaya baca. Misalnya, ketika memberi hadiah ulang tahun.
Menurut Edi, buku harus bisa menjadi cinderamata atau hadiah dalam aneka hajatan sehingga lebih bernilai daripada sebuah perangkat elektronik atau benda lainnya. “Buku lebih bermanfaat secara jangka panjang dan turun temurun, karena tidak memiliki batas pemakaian. Buku bisa bermanfaat sampai ke anak cucu,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPKA Jalan T Nyak Arief, Jeulingke, Banda Aceh, Selasa (25/10/2022).
Kebiasaan memberikan hadiah buku sebagai cinderamata akan menjadi budaya yang baik. Budaya positif ini akan memperbaiki indeks literasi dan meningkatkan minat baca masyarakat.
Budaya itu bisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Kemudian, bisa berlanjut ke orang lain dan lingkungan. “Coba dimulai dengan kebiasaan saat ulang tahun. Hadiah diganti dengan buku. Untuk anak-anak yang masih kecil, contohnya buku Upin Ipin atau sejenisnya,” kata Edi Yandra.
Kebiasaan itu, lanjut Edi, akan menanam budaya membaca sejak dini. Akan tumbuh kecintaan mencintai buku dan kegemaran membacanya. “Ini akan membentuk budaya baca di keluarga dan meningkatkan literasi. Memberikan hadiah ultah atau pada acara lain, lama-lama aka nada koleksi buku,” ujarnya.
Dengan begitu, kata Edi, kebiasaan membaca buku akan melekat di keluarga dan menularkannya ke orang lain. Jika dimulai dari anak-anak, maka kebiasaan tersebut akan terbawa sampai dewasa dan diturunkan ke anak cucu selanjutnya.
“Jadi, mengembangkan minat baca, tidak hanya peran pemerintah tapi juga dari publik, keluarga dan kelompok atau paguyuban. Sejak awal, di lingkaran-lingkaran kita. Titik awal generasi anak mau membaca itu, dimulai dari anak,” ungkapnya.
Menurut Edi, gerakan itu yang harus dilakukan. Mengganti hadiah dengan buku, itu yang harus dimulai. “Pelan-pelan membudayakan buku sebagai pemberian, hadiah atau souvenir,” ujarnya.
Ketika minat baca sudah tumbuh, ia menyarankan, perlu dukungan fasilitas di lingkup yang lebih luas. Misalnya, dengan ketersediaan rumah baca, pojok baca, pustaka keliling, dan sebagainya.[]