LENSAPOST.NET – Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tgk. Muharuddin, mengkritisi rencana Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang akan membangun empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) baru di Aceh.
Ia menilai rencana ini berpotensi memicu kembali trauma konflik masa lalu di kalangan masyarakat Aceh dan dinilai bertentangan dengan butir-butir kesepakatan damai antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam MoU Helsinki.
“Masyarakat Aceh saat ini sudah hidup tenang dan damai, serta telah bersinergi dengan TNI. Jangan sampai dengan penambahan batalyon ini membuat masyarakat Aceh kembali ketakutan dan trauma atas kejadian di masa lalu,” ujar Tgk. Muharuddin dalam pernyataannya, Sabtu 3 Mei 2025.
Politisi Partai Aceh itu merujuk pada butir 4.7 hingga 4.11 dalam MoU Helsinki, yang secara jelas mengatur keberadaan personel militer di Aceh. Dalam butir 4.7 disebutkan bahwa jumlah tentara organik TNI yang berada di Aceh pasca relokasi maksimal berjumlah 14.700 orang. Sementara dalam butir 4.8 dinyatakan tidak akan ada pergerakan besar-besaran pasukan setelah penandatanganan perjanjian, dan butir 4.11 menegaskan bahwa dalam keadaan damai normal, hanya tentara organik yang berada di Aceh.
Menurutnya, saat ini di wilayah Kodam Iskandar Muda telah berdiri 13 batalyon TNI, termasuk berbagai satuan infanteri, artileri, kavaleri, zeni, dan bantuan tempur lainnya. Ia menilai keberadaan batalyon yang sudah ada sudah cukup untuk mendukung fungsi pertahanan nasional di Aceh.
“Untuk memperkuat pertahanan wilayah serta untuk mengintegrasikan program-program pertahanan dengan pembangunan nasional di Aceh, cukup dengan memperkuat tentara organik yang berada di Aceh, tanpa harus membentuk batalyon baru,” tegasnya.
Tgk. Muharuddin menambahkan, perekrutan anggota TNI dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari jalur tamtama, bintara, hingga perwira. Oleh karena itu, penambahan satuan baru dinilai tidak mendesak dan justru berpotensi mengusik ketenangan masyarakat.
“Masyarakat Aceh masih dalam situasi trauma pasca konflik, sehingga mobilisasi pasukan dan penambahan batalyon justru akan semakin membuat trauma masyarakat, mengingat situasi Aceh yang semakin damai dan kondusif,” ujarnya lagi.
Ia pun meminta Kementerian Pertahanan RI untuk mengkaji ulang rencana tersebut dan mengajak semua pihak terkait untuk duduk bersama.
“Kami berharap Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pertahanan RI, dapat duduk bersama Pemerintah Aceh, DPRA, dan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe untuk membahas persoalan ini dan mencari skema atau alternatif lain dalam menjaga pertahanan Indonesia di ujung paling barat ini,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, rencana pembangunan empat YTP tersebut masing-masing akan ditempatkan di Kabupaten Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Proyek pembangunan YTP di Pidie akan dikerjakan oleh PT Performa Trans Utama, di Nagan Raya oleh PT Kartika Bhaita, di Aceh Tengah oleh PT Rezeki Selaras Mandiri, dan di Aceh Singkil oleh PT Teguh Karya Sejati.