LENSAPOST.NET – Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengajukan gugatan sengketa informasi terhadap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ke Komisi Informasi Pusat (KIP) terkait hilangnya empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang kini masuk dalam wilayah Sumatera Utara.
Sidang perdana yang digelar di Gedung Komisi Informasi Pusat, Jakarta, Selasa (27/5), dimulai pada pukul 10.34 WIB dengan agenda pemeriksaan identitas para pihak. Majelis sidang dipimpin oleh Handoko Agung S, dengan anggota Syawaludin dan Gede Narayana.
Dalam sidang tersebut, YARA diwakili oleh Mitra Ate Fulawan selaku Koordinator Paralegal YARA, sementara Kemendagri menghadirkan tujuh perwakilan dari Biro Hukum, Pusat Data, dan Direktorat Jenderal Administrasi Kewilayahan.
“Sidang hari ini pemeriksaan identitas para pihak, kami diminta untuk membawa akte badan hukum yang asli yang kebetulan tidak kami bawa. Sementara, dari pihak Kementerian Dalam Negeri masih menunggu tandatangan surat kuasa dari Menteri,” ujar Mitra kepada wartawan usai sidang.
YARA sebelumnya telah mengajukan permintaan informasi kepada Kemendagri terkait Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintah. Dalam keputusan tertanggal 14 Februari 2022 itu, empat pulau yang semula tercatat sebagai wilayah Aceh Singkil dikategorikan sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Namun, permintaan salinan dokumen hasil konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh terkait keputusan tersebut tidak direspons oleh Kemendagri, sehingga YARA melanjutkan upaya hukum ke Komisi Informasi Pusat.
“Informasi ini penting untuk publik, karena menyangkut kewenangan Pemerintah Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” kata Ketua YARA, Safaruddin, dalam pernyataan sebelumnya.
Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh harus melalui konsultasi dan mendapat pertimbangan dari Gubernur Aceh. Jika tidak, keputusan itu dinilai bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh dan berpotensi dibatalkan.