LENSAPOST.NET- World Resources Institute (WRI) Indonesia menggelar learning forum orang muda, yang diikuti sebanyak 29 peserta dari kelompok Perhutanan Sosial di Aceh dan Sumatera Barat. Acara ini digelar di Sabang, Aceh, 30 November hingga 3 Desember 2024 lalu.
Carolina Astri, selaku Gender, Equality, and Social Inclusion Research Analyst WRI Indonesia mengatakan, kelompok Perhutanan Sosial membutuhkan dukungan pembelajaran dari kelompok lainnya, melalui forum berbagi pengalaman, sebagai bagian dari penguatan kelembagaan.
Kegiatan learning forum yang bertemakan ‘Begerak Dari Tapak’ ini merupakan bagian dari program IPLC (Enhancing Community Forest Tenure and Sustainable Livelihoods), dimana WRI Indonesia berkomitmen untuk mendampingi Kelompok Perhutanan Sosial, khususnya yang ada di Aceh dan Sumatera Barat.
Pendampingan yang dilakukan mulai dari serangkaian kegiatan pemetaan potensi hutan, pengolahan data dan analisis hasil riset, hingga pendampingan pengelolaan hutan secara inklusif di tingkat tapak.
“Lewat program ini, WRI Indonesia berkomitmen membantu masyarakat mengoptimalkan aset dan akses hutan yang dimiliki dalam skema Perhutanan Sosial, baik melalui pengajuan izin baru maupun pengembangan wilayah yang telah memiliki izin perhutanan sosial,” kata Astri.
Pendekatan Gender Equity and Social Inclusion (GESI) juga diterapkan dalam berbagai tahapan program IPLC, mulai dari asesmen, peningkatan kapasitas, hingga asistensi kesadaran gender oleh tim community development.
Penguatan kelembagaan juga diupayakan dengan melibatkan perempuan dan orang muda, dimana WRI Indonesia mengundang anak muda yang dibentuk untuk dapat berkontribusi dalam inisiatif pengembangan dari tingkat tapak serta menempatkan mereka sebagai garda depan perubahan di level tapak.
“Learning forum ini diharapkan dapat menumbuhkan komitmen orang muda untuk mengembangkan berbagai peluang di wilayahnya, misalnya dalam unit usaha perhutanan sosial yang berkelanjutan dan inklusif,” jelas Astri.
Pemerintah Apresiasi WRI
Kepala Kesatuan Pengelollan Hutan (KPH) Wilayah I, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, T. Kamaruzzaman Syah, S.Hut, MP, menyebut bahwa Pemerintah Aceh mengapreasiasi dan berterima kasih atas usaha dan pendampingan yang selama ini telah dilakukan WRI Indonesia.
Kamaruzzaman menyebut, Perhutanan Sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian lingkungan.
Perhutanan Sosial akan membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui, masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat serta keuntungan dari hutan.
“Lewat Perhutanan Sosial, masyarakat memiliki akses kelola hutan seluas-luasnya. Keuntungan yang didapatkan bisa terus menerus, tentu saja dengan menjaga hutan itu sendiri. Berbeda dengan merusak hutan, yang hanya memberikan keuntungan sekali saja,” jelasnya.
Peningkatan Ekonomi hingga Kemajuan Pariwisata
Oktofi Yuwanda, salah satu peserta dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Asam Kandis Bundo Gamaran dari Kec. Lubuk Alung, Kab. Padangpariaman, Sumatera Barat, mengaku belajar banyak hal dari forum ‘Bergerak Dari Tapak’.
Gadis berusia 22 tahun itu mengaku mendapatkan banyak pembelajaran dari lintas kelompok, narasumber dan para pihak yang hadir, terkait tantangan dan solusi yang dihadapi dalam kelembagaan serta mendapatkan berbagai macam referensi dalam mengembangkan potensi di daerahnya.
“Dulu, asam kandis yang diolah para bundo atau ibu-ibu di daerah kami cuma dihargai Rp17.000/kg. Namun, setelah KUPS terbentuk di tahun 2022, banyak keuntungan yang kami dapat berkat pendampingan dari WRI Indonesia. Sekarang, harganya tembus Rp100.000/kg dan ini sangat membantu perekonomian warga, khususnya ibu-ibu,” kisahnya.
Asam kandis sendiri adalah salah satu hasil hutan yang sudah menjadi usaha turun-temurun di Padang Pariaman, sebagai bumbu penyedap yang dipakai dalam masakan khas Minang, seperti asam padeh dan gulai ikan. Selain itu juga ada yang menggunakannya sebagai obat-obatan.
KUPS Bundo Gamaran juga berhasil membuat kemasan asam kandis yang menarik dan telah mampu menjualnya hingga ritel-ritel yang ada di Sumbar. Selain dalam bentuk yang sudah kering, KUPS ini juga telah membuat produk turunan berupa sirup, permen, dan galamai (mirip dodol).
Sedangkan Fadrial Mahfud, salah satu peserta dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Lindung Jaboi di Kec. Sukajaya, Kota Sabang, Aceh, berkesempatan berbagi sejumlah tips dan pengalaman dari dari daerah asalnya kepada para peserta.
Mahfud mengaku mengalami tantangan luar biasa dalam memajukan daerah asalnya, sebelum dikenal seperti sekarang ini. Dia mengisahkan, dulu Jaboi sering di ‘bully’ lantaran kotoran sapi yang berserakan di sepanjang jalan, dan karena bau belerang yang berasal dari Gunung Api Jaboi (200 Mdpl).
Dia bersama sejumlah rekannya lantas berinisiatif untuk mengembangkan potensi wisata di sana seperti Gunung Api Jaboi yang memiliki 4 kawah, kolam air panas, manggrove, budaya dan kuliner hingga souvenir khas dari batok kelapa.
“Alhamdulillah, hari ini Desa Jaboi telah menjadi salah satu destinasi favorit di Pulau Sabang serta berhasil masuk ke dalam 50 desa wisata terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024,” ucapnya. []