Opini  

Momentum Hari Santri: Meneguhkan Peran Santri di Era Perubahan

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum bersejarah yang lahir dari api perjuangan dan getaran iman. Hari ini bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan refleksi mendalam atas kontribusi besar kaum santri dalam menjaga, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa.

Dari Resolusi Jihad ke Jihad Intelektual

Peringatan Hari Santri tidak dapat dilepaskan dari peristiwa monumental Resolusi Jihad 1945 yang dikobarkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Seruan jihad itu bukan ajakan untuk menebar kekerasan, melainkan panggilan iman — panggilan untuk mempertahankan kemerdekaan, menegakkan keadilan, dan menjaga kehormatan bangsa dari penjajahan.

Kini, lebih dari tujuh dekade berlalu, semangat itu tetap hidup. Hanya saja, medan perjuangan telah berubah. Bila dulu musuh berada di medan perang, kini tantangan datang dalam bentuk radikalisme, disinformasi, kemalasan intelektual, dan krisis moral. Karenanya, santri masa kini harus hadir sebagai pelanjut semangat jihad  bukan dengan senjata, melainkan dengan pena, akhlak, dan ilmu.

Santri bukan hanya mereka yang bermukim di pondok pesantren. Santri adalah setiap insan yang menautkan kecintaan kepada Allah dengan kepedulian terhadap sesama. Dalam diri seorang santri, terdapat harmoni antara tafaqquh fid-din (pendalaman agama) dan tafaqquh fil-hayah (pemahaman terhadap kehidupan).

Menjadi santri berarti belajar tanpa henti, menebar ilmu tanpa pamrih, dan berjuang demi kemaslahatan. Nilai-nilai kesantrian seperti ikhlas, disiplin, tawadhu‘, zuhud, dan cinta tanah air adalah fondasi moral yang harus terus hidup di setiap generasi.

Kesantrian bukanlah pakaian atau atribut, melainkan sikap hidup — sikap menolak kebodohan, kemalasan, dan kezaliman. Santri adalah simbol keuletan dan keikhlasan. Ia tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk umat dan bangsanya.

Dahulu, santri mengangkat bambu runcing untuk mempertahankan kemerdekaan. Kini, santri mengangkat pena, buku, dan gawai untuk mempertahankan kebenaran. Jika dahulu jihad berarti mengusir penjajah dari bumi nusantara, maka kini jihad berarti mengusir kebodohan dari pikiran dan kezaliman dari hati.

Resolusi Jihad kini menemukan maknanya dalam konteks baru:perjuangan melawan radikalisme, kemiskinan spiritual, ketimpangan sosial, serta derasnya arus globalisasi yang mengikis moral dan identitas.Rasulullah SAW bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”(HR. Ahmad)

Hadis ini menjadi fondasi jihad modern bagi santri. Bahwa jihad hari ini bukan lagi soal mengangkat senjata, tetapi soal memberi manfaat — dengan ilmu, dengan karya, dan dengan akhlak. Santri sejati tidak sibuk membicarakan perbedaan, melainkan menghadirkan solusi.

Santri Digital: Menyatukan Zikir dan Pikir

Zaman telah berubah. Era digital menghadirkan peluang dakwah yang tak terbatas, sekaligus tantangan besar yang menguji kedewasaan moral. Santri kini tidak cukup pandai membaca kitab, tetapi juga harus melek teknologi dan mampu berdakwah di ruang maya dengan santun dan cerdas.

Media sosial hari ini adalah “mimbar digital”. Di sana, jutaan mata menatap dan jutaan telinga mendengar. Karena itu, santri harus hadir bukan untuk berdebat tanpa adab, tetapi untuk menebar kebenaran dengan kasih sayang dan akhlak. Bila dunia maya diisi dengan kebencian, maka santri wajib mengisinya dengan ilmu dan hikmah.

Menjadi santri digital berarti menyeimbangkan zikir dan pikir. Ia menggunakan gawai bukan untuk riya, tetapi untuk dakwah. Ia tidak kehilangan spiritualitas di tengah teknologi, karena baginya setiap klik dan unggahan adalah tanggung jawab moral.

Tiga nilai utama yang harus menjadi pegangan santri di era ini ialah:P ertama,.Keikhlasan – belajar, berjuang, dan mengabdi tanpa pamrih.Kedua, Kemandirian – berjuang dengan sabar, tidak bergantung pada kenyamanan. Ketiga, Cinta Tanah Air – menjaga persatuan, menolak ekstremisme, dan melawan fitnah.

Nilai-nilai inilah yang menjadikan santri benteng moral bangsa. Ia bukan hanya penghafal ayat, tetapi penjaga peradaban.

Dayah : Rumah Moderasi dan Peradaban

Dayah atau pesantren telah lama menjadi taman moderasi Islam. Di sanalah santri ditempa dalam semangat tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi kawah candradimuka yang melahirkan generasi berakhlak, berilmu, dan cinta damai.

Santri dididik untuk memahami bahwa perbedaan bukan ancaman, tetapi rahmat. Dalam bingkai ukhuwah, mereka belajar menghargai pendapat, menjaga harmoni, dan menolak kekerasan atas nama agama.

Sebagaimana firman Allah SWT:“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasathan (moderat), agar kamu menjadi saksi atas manusia.”(QS. Al-Baqarah: 143)

Ayat ini menjadi dasar spiritual bahwa moderasi adalah identitas umat terbaik. Santri, dengan bekal ilmu dan akhlaknya, memegang peran strategis dalam menjaga wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin — Islam yang menebar rahmat, bukan laknat.

Sebagai penyuluh agama, saya meyakini bahwa semangat santri adalah semangat dakwah sepanjang hayat. Setiap kunjungan, setiap bimbingan, dan setiap pengajian adalah ladang jihad moral. Menjadi santri berarti tidak pernah berhenti belajar dan mengabdi, karena dunia adalah pesantren besar, dan masyarakat adalah para mustami‘ yang harus dirangkul dengan cinta.

Santri tidak cukup hanya fasih berbicara, tetapi harus hadir di tengah masyarakat — menjadi jembatan antara ilmu dan realita, antara masjid dan dunia kerja, antara zikir dan tindakan sosial.

Santri hari ini harus mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan nilai. Ia harus berani tampil sebagai penggerak literasi, pelopor kebersihan moral, dan teladan integritas. Bila setiap santri menjadi pelita di lingkungannya, maka negeri ini takkan pernah gelap.

Santri dan Tantangan Masa Depan

Masa depan Indonesia membutuhkan santri yang global dalam wawasan, tetapi lokal dalam hati. Santri yang bisa berinteraksi dengan dunia, tanpa kehilangan jati diri bangsa dan nilai Islamnya.

Santri harus siap menghadapi dunia kerja, teknologi, dan perubahan sosial dengan mental baja dan akhlak mulia. Dunia tidak menunggu, maka santri tidak boleh berhenti. Ia harus menjadi inovator, bukan penonton; pelaku sejarah, bukan sekadar pengagum sejarah.

Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:“ Man shabara zhafira — Barang siapa bersabar, ia akan beruntung.”

Kesabaran adalah senjata santri dalam menghadapi zaman. Dengan sabar, santri menuntut ilmu. Dengan sabar, santri berjuang di jalan dakwah. Dan dengan sabar pula, santri menjaga akhlak di tengah dunia yang semakin bising oleh kepentingan

Hari Santri bukan hanya nostalgia sejarah, tetapi panggilan jiwa untuk melanjutkan perjuangan para ulama. Jika dulu mereka berjuang dengan darah, maka kini santri berjuang dengan karya, dengan pena, dan dengan amal kebajikan.

Mari kita jadikan Hari Santri sebagai momentum pembaruan spiritual dan sosial, meneguhkan kembali jati diri sebagai insan berilmu dan berakhlak.

Santri sejati merupakan mereka yang terus berjalan di jalan ilmu, berdiri di sisi kebenaran, dan berkhidmat untuk kemaslahatan.

Dengan semangat kesantrian, kita bangun Indonesia yang damai, beradab, dan bermartabat — negeri yang dihuni oleh insan-insan yang zikirnya menguatkan pikir, dan pikirnya meneguhkan iman.

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

Tgk. Asnawi, S.HI – Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Bandar Dua, Anggota IPARI Pijay dan Alumni MUDI Samalanga