ACEH  

Forbina Minta BKSDA Tidak Tebang Pilih dalam Penegakan Hukum Konservasi

Direktur Eksekutif Forum Bina Aceh (For-Bina), Muhammad Nur, SH

LENSAPOST.NET– Direktur Eksekutif Forum Bina Aceh (For-Bina), Muhammad Nur, SH, meminta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk tidak melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum konservasi di Aceh.

Menurutnya, adanya kesenjangan dan penerapan standar ganda dalam penanganan konflik satwa serta konflik agraria di kawasan hutan konservasi justru akan memicu konflik baru dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Muhammad Nur menyoroti ketidakadilan yang terjadi dalam penanganan kasus kematian satwa dilindungi, seperti gajah, yang terjadi di kawasan perkebunan.

“Tidak ada sanksi hukum terhadap perusahaan yang memiliki izin perkebunan ketika ditemukan gajah mati di lahan mereka, seperti yang terjadi di Aceh Barat beberapa waktu lalu, ataupun yang terjadi di Aceh Utara beberapa tahun sebelumnya. Namun, jika satwa mati di lahan perkebunan masyarakat, BKSDA segera mengambil langkah hukum,” ujar Muhammad Nur.

Dia mengingatkan bahwa dalam Qanun Aceh No 11/2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar, sudah jelas tercantum sanksi administrasi terhadap perusahaan yang melanggar dan menyebabkan ancaman terhadap keselamatan satwa liar, termasuk penghentian sementara izin, penghentian kegiatan di lapangan, hingga pencabutan izin.

Namun, sampai saat ini, BKSDA dinilai belum berani menindak tegas perusahaan besar, sementara justru lebih berani mengambil tindakan terhadap masyarakat kecil.

Selain itu, Muhammad Nur juga menyoroti penanganan konflik agraria yang terjadi di kawasan konservasi, khususnya di Suaka Marga Satwa Rawa Singkil.

Ia menilai penggunaan aparat keamanan dalam menertibkan perkebunan masyarakat bukanlah solusi yang tepat di Aceh, mengingat sejarah panjang konflik dan krisis lahan pertanian di daerah tersebut. “Hal ini dapat menimbulkan konflik baru antara masyarakat dengan BKSDA,” tambahnya.

For-Bina mengusulkan agar BKSDA menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam penyelesaian masalah dan menghindari tindakan yang merugikan masyarakat kecil.

Pengrusakan dan pemusnahan komoditas perkebunan milik masyarakat harus dihentikan, karena hal tersebut dinilai sebagai bentuk arogansi yang tidak dapat diterima.

Muhammad Nur juga mendesak Pemerintah Aceh untuk mendesak pemerintah pusat agar melakukan evaluasi terhadap kinerja BKSDA di Aceh. Ia menegaskan, BKSDA harus menghormati hak masyarakat adat dan kearifan lokal yang berlaku di Aceh dalam setiap kebijakan yang diambil.

Dalam kesempatan tersebut, For-Bina juga mengingatkan bahwa melindungi kekayaan spesies kunci merupakan investasi besar bagi Indonesia.

Oleh karena itu, kegagalan BKSDA dalam menjalankan tugasnya di Aceh harus menjadi perhatian khusus bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengganti Kepala BKSDA Aceh dengan sosok yang lebih mampu menjalankan amanah tersebut.

Ia menyebut, Tahun 2024, tercatat 180 kasus konflik antara manusia dan satwa liar di Aceh, yang menurun 21% dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencatat 218 kejadian.

Namun, jumlah ini tetap memprihatinkan, terutama karena kebijakan pemerintah yang belum maksimal dalam mendukung upaya konservasi di daerah tersebut. **