Disbudpar Aceh Dinilai Pasif Bina Perfilman Lokal, Stetmen Fadli Zon Terkesan Omon-Omon

Artis senior sekaligus produser film lokal, M Insya atau yang lebih dikenal sebagai Bang Prak

LENSAPOST.NET – Artis senior dan produser film lokal Aceh, M. Insya atau yang lebih dikenal sebagai Bang Prak, bersama sutradara muda Raja Umar, menanggapi gagasan kolaborasi film Indonesia–Turki yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, dalam kunjungannya ke Ankara.

Dalam pertemuan resmi tersebut, Fadli Zon mengusulkan proyek film sejarah yang mengangkat hubungan erat antara Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman. Proyek ini digagas sebagai bentuk diplomasi budaya antara dua negara dan direncanakan menjadi produksi bersama yang menyoroti nilai sejarah dan persahabatan antarbangsa.

Meski menyambut baik ide tersebut, Bang Prak mengkritik keras stagnasi dunia perfilman lokal Aceh. Ia menilai bahwa talenta di Aceh sangat melimpah, namun tidak mendapat dukungan layak dari pemerintah daerah.

“Selama ini sektor kreatif Aceh mandul, bukan karena kurang talenta, tapi karena kurangnya dukungan nyata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Akses untuk berkarya masih terbatas pada kalangan tertentu. Kalau benar-benar mau hidupkan perfilman Aceh, harus ada ruang yang setara dan terbuka,” tegas Bang Prak, Senin 14 April 2025.

Bang Prak, yang dikenal lewat film edukatif “Ajarkan Aku Aceh”, juga mengkritisi kecenderungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang menurutnya hanya sibuk dalam kegiatan seremonial.

“Dinas terkesan pasif dalam membina insan film lokal. Akses terhadap program dan fasilitas hanya untuk segelintir orang. Padahal seharusnya dinas menjadi rumah besar bagi semua pelaku budaya dan film. Cet Langet jangan hanya jadi seremonial belaka,” lanjutnya.

Senada dengan Bang Prak, Raja Umar, sutradara film “Surat dari Ahmad” yang mengangkat tema lada sicupak dan diplomasi Aceh–Turki, menyatakan bahwa kolaborasi film sejarah ini adalah langkah besar. Namun, ia mengingatkan agar sineas lokal tidak sekadar jadi penonton di tanah sendiri.

“Kami menyambut baik inisiatif Pak Menteri. Film Aceh–Turki adalah ide luar biasa. Tapi kami berharap proyek ini tidak hanya melibatkan sineas nasional dan luar negeri, tapi juga mengajak pelaku film Aceh terlibat langsung, dari penulisan, riset, hingga produksi,” ujar Umar.

Ia juga menyinggung program Indonesiana.tv yang dulu menjadi andalan para kreator lokal, namun kini sepi aktivitas sejak pergantian kepemimpinan di Kementerian.

Kedua tokoh ini sepakat bahwa wacana seperti ini harus dijaga agar tidak sekadar menjadi retorika belaka.

“Kalau pusat sudah mulai melirik sejarah Aceh, masa daerahnya sendiri malah tertinggal? Kita harus bergerak bersama,” tutup Bang Prak.

Para pelaku seni di Aceh berharap, momentum ini bisa menjadi tonggak awal kebangkitan industri kreatif yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan—bukan hanya sekadar “omon-omon”.