Aceh dikenal sebagai tanah para ulama, tempat lahirnya sosok-sosok yang menebar cahaya ilmu dan akhlak. Di antara deretan ulama besar Aceh, nama Tgk. H. Ishak Ahmad, lebih dikenal sebagai Abu Ishak Lamkawe, menonjol sebagai figur kharismatik yang memadukan tawadhu’, kecerdasan, dan keteladanan. Lahir pada 10 November 1945 di Gampong Kandang, Lamkawe, beliau menjadi simbol ulama yang membimbing generasi santri melalui keteladanan nyata, bukan sekadar teori di atas mimbar.
Abu Lamkawe memimpin Dayah Baldatul Mubarakah Al-Aziziyah, sebuah lembaga pendidikan Islam di Kembang Tanjung, Pidie, yang lahir dari kesabaran, doa, dan kerja keras. Dayah ini tumbuh menjadi pusat ilmu dan pengembangan akhlak santri yang tersebar di Aceh. Dalam setiap aspek kehidupannya, Abu Lamkawe mencontohkan prinsip “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” — memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik — sebagai landasan dakwah dan pendidikan.
Kehidupan Awal dan Filosofi Ilmu
Abu Lamkawe menempuh pendidikan di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, menimba ilmu langsung dari ulama besar Al-Mukarram Tgk. H. Abdul Aziz Samalanga Al-Mantiqi (Abon Aziz). Dari gurunya, beliau tidak hanya belajar kitab kuning, tetapi juga filosofi hidup: ilmu itu seperti tanaman, tumbuh jika dirawat dengan doa, kerja, dan kesabaran.
Kehidupan rumah tangga Abu Lamkawe pun dipenuhi nuansa keilmuan. Bersama Ummi Hajjah Syari’ah, beliau membina keluarga yang berporos pada ilmu dan dakwah. Dari rumah tangga ini lahir empat anak yang semuanya menekuni pendidikan di Dayah MUDI Samalanga, menunjukkan bahwa rumah pun bisa menjadi miniatur madrasah.
Dalam keseharian, Abu Lamkawe menekankan bahwa dakwah bukan sekadar kata, tetapi juga perbuatan. Aktivitas sederhana seperti menanam padi, menyapu halaman, atau berkebun menjadi bagian dari ibadah dan pendidikan moral. Filosofi ini membentuk karakter santri yang tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga memiliki akhlak dan kemandirian
Guru dan Murid: Sanad Keilmuan yang Kokoh
Abu Lamkawe tidak hanya menjadi murid yang taat, tetapi juga guru yang menginspirasi. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Abu Hasanoel Basri HG (Abu MUDI), Mustasyar PBNU dan Mudir Dayah MUDI Samalanga. Hubungan mereka menunjukkan betapa Abu Lamkawe menekankan penghormatan terhadap ilmu dan guru, sekaligus membimbing murid dengan kasih sayang dan kesabaran.
Dalam setiap pengajian, Abu Lamkawe mengajarkan ilmu dengan runtut: dimulai dari Al-Qur’an, hadits, pendapat ulama, hingga syair bermakna yang memperkuat pemahaman. Keindahan balaghah yang ia tunjukkan tidak hanya menggetarkan hati santri, tetapi juga menarik perhatian masyarakat luas. Ia mengajarkan bahwa ilmu dan akhlak harus berjalan seiring, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana.
Abu Lamkawe juga dikenal tawadhu’. Ia menghormati murid dan siapapun yang menimba ilmu darinya. Bahkan dalam banyak kesempatan, ia menanyakan pendapat muridnya, termasuk Abu MUDI, sebelum memberikan fatwa atau penjelasan kepada masyarakat. Sikap ini menegaskan bahwa seorang ulama sejati adalah yang rendah hati dan terus belajar, tanpa membiarkan ego menguasai hati.
Warisan Tak Terputus: Dayah Baldatul Mubarakah Al-Aziziyah
Hingga wafatnya pada 6 November 2024, Abu Lamkawe tetap aktif berdakwah, mengajar, dan membimbing santri. Dayah Baldatul Mubarakah Al-Aziziyah menjadi bukti konkret perjuangan beliau. Lembaga ini melahirkan generasi santri yang tersebar di seluruh Aceh, membawa ajaran tawadhu’, ilmu, dan keteladanan ke masyarakat.
Warisan Abu Lamkawe tidak hanya terlihat pada murid dan keluarga, tetapi juga dalam cara masyarakat Aceh menilai ulama: seseorang yang hidup sederhana, berakhlak mulia, dan mencintai ilmu. Prinsipnya bahwa dakwah dan ilmu adalah jalan untuk memperbaiki diri dan masyarakat tetap menjadi inspirasi bagi generasi santri.
Seperti yang diajarkan Imam Al-Ghazali, ilmu tanpa akhlak adalah kosong. Abu Lamkawe membuktikan hal ini melalui kehidupan nyata. Begitu pula, semangat Gus Dur tentang pentingnya toleransi dan moderasi terlihat dalam cara beliau menuntun santri, menghormati perbedaan, dan menjaga ukhuwah.
Kini, bayang sosok Abu Lamkawe tetap hadir dalam setiap pengajian malam, setiap tafsir yang dipelajari santri, dan setiap aktivitas sehari-hari di dayah. Ia bukan hanya guru, tetapi cahaya ilmu yang terus menginspirasi Aceh, meneguhkan bahwa ulama sejati hidup melalui ilmu, akhlak, dan keteladanan yang tak lekang oleh waktu..
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Tgk Nanda Saputra, M. Pd
Ketua PC ISNU Pidie dan Kandidat Doktor Universitas Sebelas Maret

							










