Opini  

Keberhasilan PMKNU Perdana dan Momentum Penguatan Kaderisasi Nahdliyin

Pendidikan Menengah Kepemimpinan Nahdlatul Ulama (PMKNU) perdana yang diselenggarakan di Aceh 18-22  Desember 2024 bejalan sukses dan ini menjadi momen bersejarah dalam perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), khususnya di Aceh. Keberhasilan program ini membuka sebuah lembaran baru bagi NU di daerah yang memiliki tradisi keagamaan yang sangat kuat dan berakar, yaitu Aceh. Sebagai bagian dari usaha memperkuat kaderisasi dan memperkenalkan ajaran Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang moderat, PMKNU bukan hanya sebagai langkah strategis dalam menghadapi tantangan zaman, tetapi juga sebagai momentum penting untuk mengukuhkan peran NU dalam menjaga keberagaman, toleransi, dan perdamaian.

Keberhasilan PMKNU perdana di Aceh patut diapresiasi karena berbagai faktor yang melingkupinya. Program kaderisasi ini tidak hanya berhasil menarik perhatian generasi muda untuk bergabung dan mendalami ajaran NU, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat untuk lebih memahami pentingnya peran ulama dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik. Dalam pandangan ini, PMKNU bukan hanya soal membentuk kader yang memiliki pemahaman agama yang baik, melainkan juga tentang mengembangkan kader yang siap berkontribusi dalam memecahkan permasalahan sosial di era milenial.

Pentingnya Kaderisasi dalam Konteks NU Aceh

Sistem kaderisasi terbaru di tubuh NU sejak pertengahan tahun 2022 telah diberlakukan.  Pada sistem kaderisasi NU tersebut diputuskan itu memiliki tiga jenjang sebagai berikut: Pertama, tingkat dasar yang disebut PD-PKPNU atau Pendidikan Dasar Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama. Kedua, tingkat menengah yakni PKMNU atau Pendidikan Kader Menengah Nahdlatul Ulama. Ketiga, tingkat tinggi yaitu AKN-NU atau Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama.

Kaderisasi dalam tubuh NU memiliki tujuan utama untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam yang moderat, inklusif, dan toleran dapat diteruskan dari generasi ke generasi. Di Aceh, yang dikenal dengan identitas keislamannya yang khas dan sangat menghormati tradisi dayah (pesantren), proses kaderisasi ini menjadi tantangan tersendiri. NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memerlukan strategi yang tepat agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh yang cenderung mengutamakan tradisi lokal.

Tradisi dayah di Aceh, yang sudah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, sering kali dianggap lebih konservatif dan kaku. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan oleh NU dalam kaderisasi harus bisa menjembatani perbedaan pandangan yang ada antara tradisi dan modernitas. PMKNU menjadi salah satu jawaban atas tantangan ini dengan menyusun kurikulum yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai dasar Aswaja dengan dinamika kehidupan modern. Dalam hal ini, Abu Mudi sebagai Mustasyar PBNU memegang peran penting dalam membimbing kader-kader ini untuk tetap teguh pada ajaran Islam yang moderat dan sesuai dengan karakter lokal Aceh.

Salah satu keberhasilan utama dari PMKNU perdana di Aceh, antusiasme yang ditunjukkan oleh kalangan dayah, kampus dan generasi muda millenial dalam mengikuti program ini. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda Aceh memiliki ketertarikan yang besar terhadap pendidikan agama yang berbasis pada nilai-nilai keagamaan yang inklusif dan moderat. PMKNU memberikan peluang bagi mereka untuk tidak hanya mendalami ajaran agama, tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang sangat dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat yang sedang berkembang pesat.

Program ini juga memberikan ruang bagi para peserta untuk berinteraksi langsung dengan berbagai pemimpin dan ulama NU, serta memperkenalkan mereka pada struktur organisasi yang ada dalam NU. Dengan demikian, mereka dapat belajar lebih banyak mengenai bagaimana NU berperan dalam mengatasi berbagai masalah sosial dan budaya di tingkat lokal maupun nasional. Tidak hanya dalam aspek keagamaan, peserta PMKNU juga diberi pemahaman mengenai pentingnya keberagaman, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama, nilai-nilai yang selalu diusung oleh NU.

Selain itu, PMKNU memperkenalkan para peserta pada berbagai kegiatan sosial yang dapat membantu mereka membangun jaringan dengan sesama kader. Program ini berfungsi sebagai tempat bagi para pemuda untuk mengembangkan sikap kepemimpinan mereka, serta memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya peran organisasi dalam menjawab tantangan zaman, seperti konflik sosial, perbedaan politik, dan isu-isu global lainnya.

Keberhasilan PMKNU perdana di Aceh tidak terlepas dari pentingnya kurikulum yang telah disusun dengan sangat matang. Salah satu kekuatan utama dari program ini adalah kemampuan untuk menyesuaikan materi yang diajarkan dengan perkembangan zaman. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan globalisasi, program kaderisasi ini mengajarkan para peserta untuk tidak hanya memahami agama secara mendalam, tetapi juga untuk berpikir kritis dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Masa depan NU sangat bergantung pada kualitas kader yang dihasilkannya. Oleh karena itu, PMKNU menyadari pentingnya memberikan pelatihan dan pembekalan yang sesuai dengan kebutuhan dunia modern. Selain membekali peserta dengan pengetahuan agama yang mendalam, mereka juga diberi keterampilan untuk menggunakan teknologi dalam menyebarkan dakwah dan pesan-pesan kebaikan. Para peserta diajarkan untuk mengelola media sosial dengan bijak, sehingga mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif di tengah masyarakat digital.

Tidak hanya itu, PMKNU juga mengajarkan kader-kader muda untuk menjadi pemimpin yang tidak hanya memahami agama, tetapi juga memiliki kemampuan sosial yang tinggi. Dalam hal ini, kaderisasi yang dilaksanakan di Aceh bertujuan untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin muda yang bisa memimpin dengan integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan perdamaian.

Sinergi dengan Tradisi Lokal dan Modernitas

Keberhasilan PMKNU juga tidak terlepas dari usaha untuk membangun sinergi antara tradisi lokal Aceh dengan prinsip-prinsip yang diusung oleh NU. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi tradisi dan kebudayaan mereka, dan hal ini tidak bisa diabaikan dalam proses kaderisasi. PMKNU di Aceh mampu menyatukan dua dunia ini, yakni tradisi pesantren dayah dengan ajaran Aswaja NU yang mengedepankan sikap moderat dan toleran. Pendekatan ini sangat penting untuk membangun rasa memiliki di kalangan masyarakat Aceh terhadap NU.

Salah satu kunci keberhasilan dalam transformasi kaderisasi NU di Aceh adalah adanya sinergi yang kuat antara ulama dan santri. Dalam konteks Aceh, para ulama tidak hanya berfungsi sebagai pengajaran agama, tetapi juga sebagai pemimpin yang dapat memberikan arahan dalam menghadapi berbagai perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Kehadiran Abu Mudi sebagai Mustasyar PBNU, ulama dayah dan kalangan kampus dalam kaderisasi NU di Aceh memperlihatkan bagaimana ulama dapat memainkan peran strategis dalam membangun sinergi antara tradisi dan modernitas.

Abu Mudi melalui anak didiknya telah berhasil menunjukkan bahwa kaderisasi NU tidak hanya berkaitan dengan pengajaran agama, tetapi juga tentang membangun karakter dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Kader-kader NU yang terlibat dalam program PMKNU di Aceh tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga diberikan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana mereka bisa berkontribusi bagi masyarakat dalam konteks yang lebih besar. Keterlibatan para santri dalam berbagai program kaderisasi ini juga menunjukkan pentingnya peran mereka dalam membawa perubahan positif bagi masyarakat Aceh.

Sejak beberapa tahun ini, NU Aceh juga semakin memperkuat jaringan dengan komunitas dayah dan kampus. Hubungan antara NU dan dayah selama ini seringkali diwarnai oleh ketegangan dan perbedaan pendekatan, namun sekarang semakin banyak dayah yang mulai membuka diri terhadap program-program NU. Perubahan ini dapat terjadi karena adanya dialog yang lebih terbuka antara ulama NU dan ulama dayah, di mana mereka sepakat untuk bersatu dalam memperkuat pendidikan Islam yang moderat, toleran, dan berkeadaban

Momen Penguatan Kaderisasi NU di Aceh

PMKNU perdana di Aceh menjadi momentum yang sangat penting bagi penguatan posisi NU di daerah tersebut. Melalui kaderisasi yang baik, NU di Aceh semakin diperhitungkan sebagai organisasi yang bukan hanya mengajarkan ajaran agama yang moderat dan toleran, tetapi juga berperan dalam menjaga kebersamaan dan kerukunan di tengah perbedaan. PMKNU tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan kader yang memahami ajaran NU, tetapi juga untuk mencetak pemimpin masa depan yang siap berkontribusi bagi kemajuan masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia.

Tentunya dengan terus mengembangkan program-program kaderisasi seperti PMKNU, NU Aceh diharapkan dapat memperkuat posisinya sebagai organisasi yang relevan dengan perkembangan zaman. Kader-kader muda yang lahir dari program ini akan menjadi motor penggerak bagi terwujudnya masyarakat yang lebih inklusif, damai, dan sejahtera.

Keberhasilan PMKNU perdana di Aceh  merupakan bukti nyata bahwa kaderisasi yang dilakukan oleh NU telah memasuki fase yang lebih matang dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Melalui PMKNU, NU Aceh berhasil menggabungkan antara tradisi lokal dengan nilai-nilai moderasi yang diusung oleh organisasi ini.

Kolaborasi elemen-elemen tersebut sebagaimana disebutkan di atas yang semakin terlibat dalam program kaderisasi ini, masa depan NU di Aceh terlihat semakin cerah. Sebagai salah satu ujung tombak dalam menjaga keberagaman, toleransi, dan perdamaian, NU Aceh telah menunjukkan bahwa organisasi ini siap untuk terus berkembang dan memberikan kontribusi positif di tengah masyarakat. Selamat kepada alumni PMKNU dan nahdliyin untuk terus berkontribusi dalam mengaktualisasikan nilai Nahdliyin demi kebaikan dan perbaikan negeri tercinta ini. Sudahkah berkontribusi?

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

Tgk Mukhtar Amin (Abati Bayu)

Sekretaris PCNU Aceh Utara dan Pimpinan Dayah Ma’had Insaniah Al-Aziziyah Bayu serta Alumni Perdana PMKNU Aceh