KPK Jangan jadi Banci! Berani Nggak Panggil Paksa Bobby Nasution?

Bobby Nasution

LENSAPOST.NET – Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Ficar Hadjar, mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil paksa Gubernur Sumatra Utara (Gubsu), Bobby Nasution untuk dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan suap proyek jalan di Sumatera Utara (Sumut).

“KPK harus menghadirkan Gubsu sekalipun dengan cara paksa, karena ada dasar hukum KUHAP-nya. Jika dipanggil tidak mau datang, bisa dipanggil paksa,” tegas Abdul Fickar, Sabtu (8/11/2025).

Kehadiran Bobby penting untuk mengulik dugaan kerugian negara dalam pergeseran anggaran APBD yang menjadi fondasi proyek senilai lebih dari Rp150 miliar tersebut.

Pun dia meminta agar KPK tidak menjadi banci. Apalagi, Ketua Majelis Hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Khamozaro Waruwu, telah memerintahkan jaksa penuntut untuk menghadirkan yang bersangkutan.

“Yang terpenting, apakah ada kerugian negaranya. Kalau ada, maka secara paksa sekalipun pemanggilan itu wajib dilakukan. Pimpinan KPK dengan perintah hakim wajib melakukan pemanggilan itu. Jangan banci!” kata Abdul Ficar.

Semua orang sama di mata hukum, tegasnya. Meski Bobby merupakan menantu dari Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), kata Ficar, hanya iblis yang tidak dapat dipanggil atau dijemput paksa oleh aparat penegak hukum (APH).

“Di muka hukum siapa pun sama, wajib dipanggil secara paksa jika diperlukan. Hanya iblis saja yang tidak bisa dipanggil oleh penegak hukum, termasuk KPK,” tandasnya.

Adapun pada 24 September 2025, Majelis Hakim Tipikor memerintahkan KPK untuk memanggil Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam perkara dugaan korupsi proyek peningkatan jalan itu.

Nama Bobby bukan hanya terdengar dalam perkara jalan yang menjebloskan Topan Ginting, mantan Kadis PUPR Sumut, ke ubin penjara KPK yang dingin.

Dalam persidangan kasus suap dan gratifikasi mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (AGK), istilah “Blok Medan” muncul di ruang sidang—bukan di warung kopi.

Pada 31 Juli 2024, Kepala Dinas ESDM Maluku Utara, Suryanto Andili, menyebut keterlibatan “orang Medan” dalam pembahasan IUP nikel. Mereka diduga kuat Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, setelah pertemuan jamuan bersama AGK di Medan.

KPK kala itu menyatakan, “Jika alat bukti cukup, penyidikan akan dibuka.”

Sudah hampir setahun sejak keterangan itu muncul. Pertanyaannya adalah benar-benarkah tidak ada perkembangan bukti tentang dugaan itu? Atau ada upaya halus agar kasus ini berhenti tepat sebelum menyentuh lingkar kekuasaan?

Faktanya, hingga AGK meninggal saat menunggu kasasi di MA, perkara Blok Medan senyap. Diam dan membeku seperti tubuh yang telah kaku.

Sementara dalam kasus proyek peningkatan jalan di Sumut, risalah persidangan menunjukkan bahwa proses penyusunan anggaran beririsan langsung dengan jaringan politik dan kewenangan kepala daerah.

Gubernur Bobby berkali-kali menggeser anggaran agar proyek itu “cair”. Dan ironinya, ketika hakim meminta Jaksa KPK menghadirkan Bobby untuk memperjelas konstruksi aliran pengaruh, proses itu justru menghilang tanpa penjelasan publik.

Pemanggilan seorang saksi tampaknya menjadi sesuatu yang dianggap berisiko mengguncang struktur yang lebih besar daripada hanya cuma perkara proyek daerah.

Ada dua kemungkinan yang mendasari kecurigaan publik: Pertama, KPK berhati-hati agar konstruksi hukum kuat sebelum melangkah. Kedua, proses hukum terhalang kepentingan struktural sehingga berhenti di titik tertentu.

Namun konteks sosial politik kini berbeda. Kepercayaan publik terhadap KPK sudah tergerus sejak Revisi UU KPK 2019 yang menempatkannya di bawah kendali eksekutif.

Berbagai survei (Indikator, LSI, Alvara 2021–2024) menunjukkan penurunan konsisten kepercayaan publik. Persepsi bahwa KPK tak lagi independen menjadi dominan.

Karena itu, jika pemanggilan saksi berhenti di meja birokrasi, yang terjadi bukan hanya kelambanan teknis, melainkan normalisasi pengecualian hukum bagi para elite—termasuk lingkar keluarga bekas presiden.

Dan ketika pengecualian semacam itu berubah menjadi kebiasaan, demokrasi pun menyusut menjadi ornamen administratif. Ironisnya, hal ini justru terjadi pada era Presiden Prabowo, yang kerap beretorika akan memburu koruptor sampai ke Antartika. Faktanya, hingga kini nyali penegakan hukumnya justru tampak meredup.

Padahal preseden moral pernah ditunjukkan negeri ini. Tahun 2008, KPK menetapkan Aulia Pohan—besan Presiden SBY—sebagai tersangka. Presiden tidak mengintervensi.

Kini KPK tidak sedang diuji hanya dalam perkara korupsi. Namun dia sedang diuji apakah ia masih memiliki nyali untuk menghadirkan Bobby Nasution sebagai saksi di pengadilan.

Sumber: monitor