NEWS  

Perdagangan Satwa Liar Ilegal Menggurita, Aceh Jadi Sumber Utama Jaringan Internasional

Koordinator Investigasi dan Penegakan Hukum Yayasan HAkA, Tezar Pahlevie saat menjadi narasumber pada acara Pelatihan Hukum Lingkungan Hidup untuk Jurnalis bertema “Dari Pena ke Pengadilan: Peran Jurnalis dalam Advokasi dan Penegakan Hukum Lingkungan” digelar di Aula Pengadilan Negeri Banda Aceh, Kamis (6/11/2025).

LENSAPOST.NET– Perdagangan satwa liar ilegal kini menjadi kejahatan terorganisir yang menduduki peringkat keempat terbesar di dunia, dengan nilai kerugian global mencapai 7 hingga 30 miliar dolar AS per tahun. Aktivitas ini telah menyebar di 165 negara dan kerap bersinggungan dengan kejahatan lain seperti narkotika dan penyelundupan lintas negara.

Namun, di Indonesia, kejahatan ini belum dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa), berbeda dengan perdagangan manusia atau narkoba. Padahal, dampak ekologis dan ekonominya sangat besar.

Koordinator Investigasi dan Penegakan Hukum Yayasan HAkA, Tezar Pahlevie, mengungkapkan bahwa sindikat perdagangan satwa liar di Indonesia, termasuk Aceh, beroperasi secara rapi dan terorganisir lintas negara.

“Selama 2020–2024, kami mencatat 36 kasus perdagangan satwa liar di Aceh, dengan total 73 terdakwa yang telah disidangkan. Lima kabupaten dengan kasus terbanyak ialah Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Aceh Tenggara,” kata Tezar.

Gayo Lues tercatat sebagai daerah dengan kasus tertinggi. Di wilayah ini, perburuan satwa liar bahkan telah menjadi kebiasaan masyarakat, dengan sejumlah pelaku memiliki kemampuan menguliti dan memproses bagian tubuh satwa, terutama harimau.

Dari seluruh kasus yang dianalisis HAkA, sekitar 86 persen sudah sampai tahap perdagangan, bukan sekadar perburuan. Produk yang paling banyak diperdagangkan adalah kulit dan bagian tubuh harimau sumatera, mencapai 38 persen dari total kasus.

Empat spesies kunci di Kawasan Ekosistem Leuser — harimau, gajah, orangutan, dan badak sumatera — menjadi target utama. Dalam tiga tahun terakhir, sedikitnya 30 orangutan sumatera diselundupkan dari Aceh menuju Thailand, yang menjadi titik transit sebelum dikirim ke negara Asia dan Timur Tengah.

“Aceh menjadi salah satu sumber pasokan karena hutannya luas dan kaya satwa liar. Beberapa kasus menunjukkan jalur penyelundupan dari Aceh Tamiang menuju Thailand melalui Selat Malaka, lalu diteruskan ke Myanmar hingga Timur Tengah,” jelasnya.

Tezar menambahkan, dalam beberapa bulan terakhir otoritas Vietnam juga menangkap hingga 7 ton produk satwa liar yang dikirim dari Indonesia. Dalam skala global, jaringan perdagangan satwa bahkan digunakan kartel narkoba di Amerika Selatan untuk menyelundupkan kokain.

Yayasan HAkA menilai, lemahnya hukuman menjadi salah satu penyebab kasus terus berulang. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, vonis bagi pelaku sering kali hanya 1–2 tahun. Namun, UU No. 32 Tahun 2024 yang baru disahkan memberi harapan dengan peningkatan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.

“Para pelaku menganggap ini kejahatan berisiko rendah dengan keuntungan besar. Karena itu, hukuman yang berat dan penegakan hukum yang kuat jadi kunci utama,” ujarnya.

Selain dampak ekologis berupa menurunnya populasi satwa dan meningkatnya konflik manusia-satwa, perdagangan ini juga berpotensi menimbulkan tindak pidana pencucian uang, sebab keuntungan besar dari hasil jual-beli satwa sering dialihkan ke bisnis lain.

Yayasan HAkA merekomendasikan lima langkah strategis: memperkuat aparat penegak hukum (APH), penggunaan teknologi pemantauan canggih, edukasi publik, pelibatan komunitas lokal, serta kerja sama dengan komunitas internasional.

“Kejahatan ini bersifat tertutup dan sulit dilacak karena menggunakan komunikasi terenkripsi seperti WhatsApp. Karena itu, perlu pendekatan luar biasa untuk menanganinya,” tegas Tezar.