LENSAPOST.NET – Ketua Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Kabupaten Pidie, Tgk. Nanda Saputra, M.Pd, mengeluarkan pernyataan resmi yang menyoroti kegagalan negara dalam melindungi anak-anak dari maraknya praktik judi online (judol) di Aceh.
Dalam pernyataan tersebut, ia menegaskan bahwa pendidikan anak yang selama ini dibina oleh orang tua, ulama, dan lembaga pendidikan bisa hancur seketika jika ruang digital dibiarkan bebas tanpa proteksi negara.
“Jangan sampai anak-anak yang sudah dididik dengan baik justru dirusak oleh ruang digital beracun. Judi online dibiarkan bebas, ini bukti kelalaian negara yang tidak bisa ditolerir,” tegas Tgk. Nanda, Sabtu (13/9/2025).
Kritik Gagalnya Kebijakan Pusat
Menurut kandidat doktor Universitas Sebelas Maret itu menyebutkan bahwa pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) terbukti berkali-kali gagal menutup akses judol. Kegagalan itu, lanjutnya, bukan sekadar masalah teknis, tetapi kelalaian serius yang berdampak langsung pada masa depan generasi bangsa.
“Sejak era Kominfo sampai Komdigi, mereka terlalu sering gagal. Bahkan ada platform yang justru dilindungi dengan dalih regulasi formal. Ini jelas bentuk pengkhianatan terhadap amanah konstitusi dan syariat dalam melindungi masyarakat dan generasi penerus,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Gus Nanda itu mengatakan bahwa menilai ruang digital Indonesia saat ini ibarat “pasar bebas” tanpa kontrol. Anak-anak di Aceh bisa dengan mudah mengakses aplikasi maupun situs judol hanya melalui ponsel. Banyak laporan orang tua yang mendapati anak mereka terjerumus, bahkan sampai terlilit hutang atau nekat mencuri karena kecanduan.
Bahaya Psikologis dan Pertumbuhan Anak
Tgk. Nanda menegaskan, bahaya judol bukan hanya soal ekonomi keluarga yang hancur, tapi juga mengancam psikologi dan pertumbuhan anak.
Ia mengutip perspektif psikolog bahwa judi online memiliki dampak adiktif yang mirip narkotika. Anak atau remaja yang terjerat biasanya mengalami stres, depresi, kehilangan fokus belajar, hingga berisiko mengalami gangguan kepribadian.
“Masa remaja merupakan fase emas pembentukan identitas dan karakter. Kalau pada fase ini mereka rusak karena judol, maka habislah generasi kita. Mereka kehilangan motivasi berprestasi, terjebak pada perilaku instan, dan mudah melakukan penyimpangan,” jelasnya.
Dalam perspektif tumbuh kembang, sambungnya, judol merusak perkembangan kognitif, emosional, dan moral anak. “Judi online merampas akal sehat dan masa depan mereka. Ini bukan lagi sekadar hiburan, tapi candu digital yang menghancurkan generasi bangsa,” tegasnya.
Desakan Evaluasi Diskominsa Aceh
Atas situasi ini, ISNU Pidie mendesak Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf (Mualem), untuk segera mengevaluasi kinerja Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Diskominsa) Aceh.
“Diskominsa terlalu pasif. Jangan hanya menunggu instruksi pusat, padahal Aceh punya kekhususan dan kewenangan. Kalau tidak ada terobosan, maka evaluasi kinerja adalah keniscayaan,” kata Tgk. Nanda.
Ia juga mendorong Gubernur untuk membentuk Satgas Khusus Pemberantasan Judi Online yang melibatkan ulama, akademisi, aparat hukum, hingga tokoh masyarakat. Menurutnya, persoalan ini membutuhkan langkah lintas sektor: mulai dari edukasi literasi digital, pemblokiran akses, sampai pengawasan aliran transaksi perbankan dan dompet digital.
Ancaman Syariat dan Moral Sosial
ISNU Pidie mengingatkan bahwa judi online bukan hanya pelanggaran hukum positif, melainkan juga bentuk kemaksiatan yang jelas bertentangan dengan syariat Islam.
“Banyak kerusakan rumah tangga di Aceh yang bermula dari kecanduan judol. Syariat jelas mengharamkan, maka pemerintah Aceh punya kewajiban moral dan agama untuk menutup ruang maksiat itu. Kalau tidak, apa arti syariat yang kita banggakan?” ungkapnya.
Ia menekankan, pemberantasan judol sejalan dengan maqashid syariah: menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan. Karena itu, jika pemerintah tidak tegas, maka sama saja ikut menanggung beban dosa sosial yang ditimbulkan.
Di akhir pernyataan, Tgk. Nanda mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya ulama, guru, tokoh gampong, dan orang tua, untuk bersama-sama membendung pengaruh judol.
“Ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga kewajiban moral kita semua. Lawan judol harus menjadi gerakan kolektif, agar anak-anak Aceh tidak menjadi korban candu digital,” serunya.
Harapan pada Kepemimpinan Mualem
Tgk. Nanda menyampaikan harapan besar kepada Gubernur Aceh,. H. Muzakir Manaf. Menurutnya, sosok Mualem dikenal tegas dan berani, sehingga diharapkan bisa mengambil langkah cepat dan nyata.
“Mualem jangan ragu mengevaluasi dinas yang lalai. Beliau harus memimpin koordinasi besar-besaran untuk menutup ruang judol di Aceh. Tindakan tegas hari ini akan menjadi warisan baik bagi generasi mendatang,” tutupnya.